Header Ads

test

Rentetan Pembantaian dan Pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun

Korban Pembantaian yang Dilakukan PKI kepada Pemuka Agama di Madiun.

Celupin - Banyak orang mengenalnya sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia dalam pemberontakan 1926 dan 1948. Yang pertama aksi Pemberontakan PKI menentang pemerintah kolonial Belanda. Yang terakhir gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur, melawan pemerintah pusat.

Dialah Musso, anak Kediri yang ketika kecil dikenal rajin mengaji. Mendapat pendidikan politik ketika indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa disejajarkan dengan peran Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.

#1 Syahid Dihantam Palu Arit: Terorisme ala PKI 
Lembaran sejarah Indonesia tergores pengalaman yang amat mengerikan dengan komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi keji PKI menciptakan genangan darah umat Islam di Indonesia. Sabtu Pon, 18 September 1948, pukul 03.00 dini hari, tiga letusan pistol ditandai sebagai isyarat dimulainya pemberontakan bersenjata PKI yang dikenal dengan Madiun Affair.

[1] Inilah kudeta secara terang-terangan terhadap Indonesia yang baru berusia tiga tahun merdeka dan baru juga menderita gara-gara serangan militer Belanda di tahun sebelumnya. Betapa lemahnya Indonesia kala itu. 
“Kejadian itu terasa begitu mengerikan … beribu-ribu manusia dengan kelawang dan berbagai senjata Cumiik- mekik bagai serigala haus darah … mereka berduyun- duyun tak ada habisnya sambil terus Cumiik dan memaki-maki … kemudian menerjang dengan beringas dan penuh kebencian …” 
Itulah gambaran yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami detik-detik peristiwa 18 September 1948 tatkala kudeta PKI diproklamasikan di Madiun. 

[2] Ketika itu beribu-ribu manusia dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya seperti air bah. Tanpa babibu lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari berbagai arah ke segala arah menerjang segala apa yang mereka jumpai. Musuh utama PKI adalah umat Islam khususnya para kiai dan santri. Hal ini sangat dimengerti sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya. Setelah itu, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang menjadi sasaran PKI tentu tidak tinggal diam dan tunduk ketika agamanya diberangus. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta, telah membentuk Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, siswa Madrasah Menengah Tinggi Djamsaren , Solo, sebagai komanden Brigade PII syahid bersama delapan orang anggotanya yang berasal dari berbagai sekolah dan pesantren, dalam pertempuran melawan pemberontak PKI di Madiun. 

[3] Magetan sebagai kawasan paling dekat dengan ibu kota Keresidenan Madiun, dalam tempo beberapa hari telah jatuh ke tangan PKI. Pembersihan dilakukan dimana-mana untuk mendongkel yang bukan merah dan diganti dengan yang merah. Maka sejarah pun mencatat praktik-praktik mengerikan yang dilangsungkan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari aksi Khmer Merah di Kamboja. Apa yang mereka lakukan itu adalah bagian dari teror mereka untuk meruntuhkan moral lawan-lawan mereka. Sekalipun peristiwa itu dikenal dengan sebutan Pemberontakan Madiun, di antara sekian daerah yang menjadi korban keganasan kaum merah tersebut, masyarakat di kawasan Kabupaten Magetanlah yang paling parah menerima akibatnya. Korban keganasan kaum merah tersebut tak dapat diketahui secara pasti. Tetapi adanya sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang dipakai PKI untuk menghabisi lawan-lawan mereka yang tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Magetan, menjadi saksi sejarah dari sebuah kebiadaban yang sulit dipercaya kala itu. Sulit dipercaya karena saat itu Republik Indonesia justru baru saja berdiri, dan yang mereka bunuh adalah saudara setanah air. Padahal saling bunuh yang selama ini dikenal adalah saling bunuh antara kaum repubik dan penjajah. Hal itu terlihat dari kebiadaban PKI dalam aksi mereka di daerah Kabupaten Magetan.

#2. Tragedi Pesantren Gontor : Berjam jam dikepung PKI 
Kyai Amal Fatullah Zarkasyi, salah satu putra dari KH. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor, menceritakan ulang bagaimana kisah ayahnya yang tertangkap PKI saat mencoba mengungsi dengan kyai dan santri-santri Gontor. 

Kyai Amal Fatullah Zarkasyi
Ia mendapatkan kisah ini langsung dari Kyai Imam Zarkasyi. "Saya belum lahir, tapi ceritanya jelas bagi saya," ujarnya saat dihubungi , Rabu (30/9). 

Saat PKI menguasai Madiun, menurutnya, sudah banyak pondokan yang terkena sapuan bersih PKI dengan membunuh para kyai dan santrinya. Kemudian giliran Gontor, para kyai dan santri mengungsi, termasuk KH. Imam Zarkasyi ikut mengosongkan pondok. "Cuma jalan yang kita tempuh dikuasai PKI. Jadi mau ke Tengglarek jalannya keliru, di situ akhirnya ditahan," papar Kyai Zarkasyi. Ia melanjutkan, bahwa saat itu Putra Bahari itu akan dibantai, hanya tinggal menunggu komando, nyawa pun akan mudah melayang. 

Akhirnya para kyai, guru, dan santri dipindahkan dari Sukoi, daerah gunung Ponorogo, menuju kota Ponorogo oleh PKI. "Dari situ ditahan di masjid Muhammadiyah, dikelilingi oleh bom dan meriam, yang moncongnya itu sudah dihadapkan ke masjid," jelasnya. 

Saat situasi semakin genting, datang pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh Kyai Yusuf Hasim yang berasal dari Tebu Ireng dan tentara Siliwangi mengelilingi pasukan PKI. Pada saat itu, jumlah tentara tidak begitu banyak, hanya saja mereka menggunakan taktik untuk menggertak pasukan PKI. 

"Di mana-mana tembakan dibunyikan, padahal orangnya ngga terlalu banyak. Akhirnya PKI itu lari dari sekeliling masjid," katanya. Setelah kejadian tersebut, para kyai dan santri Gontor dapat terbebas dari sandraan PKI yang mengancam membunuh dari luar masjid.

#3 Tragedi Pesantren TAKERAN
Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan..

17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.

Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit.

“Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil,salah seorang saksi mata. 

Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. 

“Waktu itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat. 

Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI. Tetapi Suhud, salah seorang pimpinan gerombolan PKI, ketika itu melontarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an untuk meyakinkan warga pesantren bahwa iktikad mereka baik kepada Kiai Imam Mursjid. “Suhud waktu itu malah mendalilkan innalaha laa yughayyiru bi qaumin, hatta yughaiyyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah nasib mereka sendiri),” kenang Kamil. Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. 

Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren. Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI.

“Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu. Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. 

Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya. Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. 

“Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil. 

Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng. 

PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng. Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. 

Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa. Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.

Tidak ada komentar