Header Ads

test

Riwayat Tan Malaka Penganut Paham Komunisme dan Marxisme yang Tidak Anti Agama

Riwayat Tan Malaka Penganut Paham Komunisme dan Marxisme yang Tidak Anti Agama

Celupin - Tahun  1897 adalah tahun dimana diperkirakan tahun lahirnya Tan Malaka oleh Harry A. Poeze, dengan melihat riwayatnya yang pada 6 tahun kemudian Tan Malaka masuk ke sekolah rendah yang menerima murid dengan umur minimal 6 tahun. Tan Malaka lahir dengan nama asli Ibrahim dan biasa dipanggil Ibra, lahir di Suliki, Desa Nagari Pandan Gadang Sumatra barat.

Ibra lahir dari Ayah yang bekerja sebagai seorang mantri, Ibra adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ibra gemar bermain sepak bola, layang-layang, berenang dan mengaji, pada usia 16 Ibra sudah hafal Al-Quran. Ibra ini dikenal sebagai seorang yang pemberani dan nakal namun juga cerdas. Karena kecerdasannya ia direkomendasikan untuk menempuh pendidikan di Sekolah Guru Negeri Fort de Kock (sekarang bukit tinggi) setelah lulus sekolah kelas dua, sekolah dengan julukan “sekolah raja” karena hanya anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk kesana.

Riwayat Tan Malaka Penganut Paham Komunisme dan Marxisme yang Tidak Anti Agama


Tan Malaka

Sementara Tan Malaka berasal dari keluarga seorang pegawai rendahan. Ibra bisa masuk kesana karena asal-usul keluarga ibunya dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Tan Malaka senior adalah salah satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahi beberapa datuk, ditambah dengan kecerdasan Ibra yang luar biasa.

1907- Ibra terdaftar sebagai murid di Fort De Kock, perantauannya ke sini adalah perantauannya yang pertama. Merantau adalah salah satu budaya masyarakat Minangkabau. Merantau diyakini akan membawa nilai-nilai kebaikan yang ada diluar sana. Di Bukittinggi Ibra banyak belajar budaya Belanda yang kala itu menjajah Indonesia.

Di sana ia belajar bahasa Belanda, dan bergabung dengan orkes sebagai pemain cello, di bawah pimpinan G.H Horensma. Di sana ia juga masih meneruskan hobinya bermain sepak bola. G.H Horesma menganggap Ibra seperti anaknya sendiri. Ia terkesan dengan kecerdasan dan tingkah laku yang baik dari Tan. 

1913- Ibra lulus dari Sekolah guru negeri Fort de Kock ia pun kembali ke kampung untuk upacara pemberian gelar. Kini nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. 

Di tahun ini pula Tan Malaka meneruskan pendidikannya ke Belanda, atas saran dan bantuan G.H Horesma dan bantuan dana dari para pemuka kampungnya di Suliki. Ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru Rijkweekschool di Haarlem, Belanda.

Selama di Belanda ia tiggal berpindah-pindah tempat. Pertama ia tinggal di pemondokan bersama murid Rijkweekschool yang lain, namun ia tidak betah disana. Ia pun pindah ke Jacobijnestraat, ia tinggal di sebuah rumah kecil menempati kamar loteng yang sempit dan gelap.

Pada saat Tan Malaka datang ke Belanda, Harleem diliputi aura kemiskinan yang sedang jatuh bangun menghadapi depresi ekonomi. Dalam tulisannya Tan Malaka mengaku mengalami konflik antara jasmani dan keadaan belum lama disana, ia juga sulit beradaptasi dengan makanan disana yang menurutnya cara pengolahannya sangat buruk. Ia tinggal bersama keluarga miskin E.A Snijder dengan uang sakunya yang cuma 50 gulden tiap bulan.

Selama sekolah Tan dapat mengatasi pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu pasti dan membenci ilmu tentang tumbuh-tumbuhan karena harus menghafal. Tan pandai bergaul dengan teman-teman dan guru-gurunya walau ada kendala bahasa. Tan aktif bermain biola bersama orkes dan bermain sepak bola. Tan bergabung dengan klub sepak bola Vlugheid Wint. Ia terkenal memiliki tendangan yang kencang dan sering bermain bola tanpa sepatu. Walau dalam kondisi sakit Tan tetap semangat dalam bermain sepak bola.

1915- Karena kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat dan jarang mengenakan jaket tebal. Tan mulai terserang radang paru-paru, sejak saat ini kesehatannya tidak pernah dalam kondisi seratus persen.

Sejak tanggal 24 April 1915 Tan Malaka pindah ke rumah pasangan Gerrit van Der Mij Jacobijnestraat dengan kondisi kamar yang lebih baik setelah mendapat pinjaman pendidik 1.550 gulden dari (NIOS) Dana Pendidikan dan Studi Hindia Belanda.

Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan Malaka. Dia sering berdiskusi dengan teman satu kosnya Herman Wouters seorang pengungsi dari Belgia yang lari dari serangan Jerman ke negaranya dan Van Der Mij, dari situ Tan mulai mengenal kata-kata baru yang menjadi subyek misterius : Revolusi.

Namun ia tak langsung menjadi partisipan aktif, pada awalnya ia hanya mengamati, mendengar dan ikut-ikutan membaca De Telegraf koran langganan milik mij, sebuah surat kabar anti Jerman dan Het Volk media yang sering dibaca Wouters.

Koran-koran “kiri” yang ia baca dan perang yang berkecamuk mempengaruhi pemikirannya. Ia pun mulai lapar informasi-informasi politik. Ia juga membaca buku karya Friedrich Nietszche yang populer pada masa itu seperti Thus Spoke Zarathustra, Will to Power, dan buku yang mengenalkan dia dengan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan) yaitu The French Revolution karya Thomas Carlyle. Ia pun merasa berada dalam paham dan semangat yang lazim dinamai revolusioner.

1916- Tan meninggalkan Haarlem dan pindah ke Bussum dan tinggal bersama keluarga Koopmans. Kepindahannya ini membuat ia tersadar, dia merasakan perbedaan gaya hidup yang mencolok antara gaya hidup mewah keluarga Koopmans yang borjuis dan keluarga Van Der Mij tempat ia tinggal dulu yang proletar.

1917- Terjadi Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917, memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang bergerak kearah sosialisme. Muncul berbagai gagasan tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun pada diri Tan.

Datang Ki Hajar Dewanta yang meminta dirinya menjadi wakil di acara Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda karena Ki Hajar akan kembali ke Hindia Belanda.

Dalam forum inilah ia menyampaikan gagasan-gagasan yang ia miliki. Lalu Tan pindah ke Goilandschweg, sebuah kawasan borjuis. Disini Tan mulai putus asa karena tak lulus menjadi pengajar di Belanda. Padahal ia harus bekerja agar bisa membayar hutangnya pada NIOS. Ia juga makin aktif mengunjungi rapat-rapat yang sering diadakan Himpunan Hindia.

1919- Tan Malaka memutuskan pulang ke Indonesia. Dengan cita-cita, mengubah nasib bangsa Indonesia. Ia merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai membangun sistem sosialisme. Ia banyak mendapat pelajaran penting terutama tentang politik di Belanda. kembali ke Indonesia ia menjadi pengajar di sebuah perkebunan di Deli. Di sinilah ia melihat sebuah ketidakadilan, ketimpangan sosial antara tuan tanah dan para pekerjanya.

Bagi para tuan tanah pendidikan bagi para kuli pekerja hanyalah buang-buang uang dan juga ada ketakutan bagi mereka apabila para kuli itu diberi pendidikan akan membuatnya berani membangkang, sementara bagi Tan Malaka setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk mundur sebagai pengajar disana, semangat radikalnya pun muncul. Ia dihadapkan dengan kecenderungan ajaran marxis yang dipelajarinya dengan kenyataan.

1921- Ia pindah ke Jawa dengan modal surat dari ketua Boedi Oetomo di Medan ia diterima sepeti saudara oleh Boedi Oetomo Yogya.. Tan Malaka menghadiri kongres Sarekat Islam (SI), disini ia bertemu dengan tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun dan lainnya. Disini ia cocok dengan SI Semarang yang menjadi cikal bakal PKI.

Setelah kongres ia ikut dengan Semaun ke Semarang dan sepakat mendirikan sekolah rakyat. Ketika Semaun di buang ke Moskow Tan Malaka ditunjuk sebagai ketua PKI karena keluasan pengetahuan dan teori yang dimilikinya. SI dan PKI mulai mengalami perpecahan, namun Tan Malaka berpendapat agar Partai Komunis dan Sarekat Islam bersatu untuk melawan penjajah.

Tan malaka juga aktif memimpin pergerakan buruh dan mengatur solidaritas yang dilaksanakan VSDP karena inilah ia dituduh menganggu keseimbangan dan ditangkap pemerintah penjajah Belanda, lalu dibuang ke Kupang. 

1922- Tan Malaka dibuang ke Kupang, lalu pada bulan yang sama ia dbuang ke Belanda, dan disambut hangat oleh kaum komunis yang ada disana. Tan Malaka dicalonkan untuk duduk di parlemen sebagai wakil partai komunis Belanda tersebut. Namun gagal karena umurnya belum mencapai 30 tahun. Tan gagal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui posisinya apabila ia diterima di parlemen. Setelahnya Tan pun pergi ke Jerman, dan sempat mendaftar menjadi legion asing, namun Jerman tidak membuka pendaftaran legiun asing. Di Jerman Tan juga sempat menulis tulisan yang menjadi pembantahannya atas tuduhan Belanda yang menangkap dan membuangnya.

Setelah itu ia pergi ke Moskow, Russia untuk menghadiri Kongers Komintern (komunis internasional) sebagai wakil dari Indonesia. Ia mendapat kesempatan pidato selama lima menit. Ia pun menyampaikan gagasanya bahwa penting bagi komunis untuk bekarja sama dengan Islam dalam melawan imperialisme. Dalam kongres ini bertemu dengan tokoh-tokoh komunis lain seperto Ho Chin Minh dan Lenin.

Setelah kongres ia meminta komintern menyekolahkan dia namun ditolak. Namun ia ditugaskan untuk membentuk biro serikat pekerja timur merah “Red Eastern Labour Union” di Canton,china oleh komintern. Sebelumnya di Russia ia sempat menulis buku berjudul Indonesia, ejo mesto na proboezdajoestsjemsja Vostoke atau Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit. 

1923- Tan Malaka pergi ke Tiongkok (Cina) sebagai wakil Komintern, disana ia berjumpa dengan tokoh komunis cina Sun Yat Sen yang menurutnya adalah pengalaman yang istimewa. Tan menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biro Kanton.

Tugas pertamanya adalah menerbitkan majalah, ia pun memimpin majalah The Dawn. Di kota ini juga Tan menulis Naar de Republiek Indonesia. Buku pertama yang menggagas sebuah Negara merdeka bernama Republik Indonesia. Di Kanton penyakit paru-parunya mulai kambuh karena suhu yang dingin. Setelah beberapa kali berobat ia pun disarankan untuk pergi ke daerah yang cuacanya hangat.

1924 – Tan Malaka mengajukan permohonan untuk minta izin pulang ke Indonesia kepada gubernur Jenderal Belanda Dick Fock, namun ditolak. Akhirnya ia pergi ke Filipina dengan nama samara Elias Fuentes, tak sampai dua tahun dia ditangkap polisi Filipina yang berada dalam kekuasaan intel Amerika, Belanda dan Inggris.

1926- Ia mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) di Bangkok, setelah sebelumnya tidak mendukung gagasan PKI yang akan melakukan pemberontakan di Indonesia. Karena hal inilah ia dan PKI mulai pecah.

Ia juga menulis salah satu karyanya Massa Actie yang ditujukan pada komunis di tanah air tentang tata cara revolusi, namun sayangnya terlambat. Kelak 30 tahun kemudian ketidak-setujuannya ini membuat ia dianggap sebagai pengkhianat partai, disamakan atau dikatakan sebagai Trotskys (pengikut Leon Trotsky, lawan politik Stalin) oleh D.N Aidit ketua PKI pada saat itu.

1927- Ia pun kembali ke tiongkok. Kali ini ia ke kota Amoy

1932- Pecah perang antara Jepang dan Cina ia pindah ke Hong Kong menyamar sebagai Ong Song Lee. Di Kowloon ia dikira sebagai Dawood buron dari singapura, ia bersilat minang melawan polisi Hong Kong yang memakai jurus kungfu. Ia menang, namun muncul Gurkha. Ia pun menyerah di tangan mereka.

Setelah dipenjara di Hong Kong ia diputuskan akan dibuang ke shanghai. Namun Tan berhasil mengecoh polisi yang mengawalnya dan berhasil meloloskan diri di Pelabuhan Amoy. Disana penyakit paru-parunya kambuh namun Sinse Choa tabib lokal disana berhasil menyembuhkannya dengan ramuan tradisional.

1937- Tan Malaka pergi meninggalkan Tiongkok ketika Jepang menyerang, dengan nama samaTan Min Siong, ia pergi menuju Rangoon, Burma. Dari Burma ia menuju Singapura dengan nama samara Tan Ho Seng.

1942- ketika Jepang menyerbu singapura ia kembali ke Medan dengan nama Legas Hussein, dan kembali ke Padang disanalah ia bertemu dengan Tan Malaka palsu buatan Jepang untuk memancing munculnya tokoh-tokoh radikalis. 1942-1943 Tan Malaka pergi ke Desa Rawajati, Kalibata, Jakarta. Disini ia menulis karyanya yang cukup penting dan dikatakan karya terbesar MADILOG (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Yang merupakan buah pikir dari pengembaraannya.

Inti dari Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis, serta merupakan upaya untuk merombak system berpikir bangsa Indonesia dari pola pikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional.

Dalam menulis Madilog ini ia selalu berdiskusi dengan pemuda, dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitasnya inilah ia pernah digeledah, namun karena tak ditemukan bukti yang memberatkannya pejabat yang menggeledahnya (Asisten Wedana Pasar Minggu) meminta maaf kepadanya. Ia tak tahu bahwa Tan menyembunyikan kertas-kertasnya di kandang ayam dan disamarkan sebagai kaki meja.

1943- Tan Malaka pergi ke Bayah, Banten dengan nama samaran Ilyas Hussein ia bekerja disana setelah melamar ke kantor sosial. Tan Malaka membutuhkan penghasilan sekaligus tempat bersembunyi.

Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati, sering membelikan makanan pada para pekerja romusha dari upahnya sendiri. Ia pun mengusulkan tentang peningkatan kesejahteraan romusha.

1944- Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno memberikan pidato yang berisi bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Imdonesia setelah mengalahkan sekutu. Ketika moderator membuka sesi tanya jawab. Tan mengajukan pertanyaan, apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang menjamin kemenangan terakhir?

Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda, namun Tan membantah menurutnya rakyat akan berjuang dengan semangat yang lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan. Tan melihat Soekarno jengkel.

1945- Tan datang ke Jakarta dari Bayah dengan memperkenalkan diri sebagai Ilyas Hussein. Ia bertemu dengan para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, B.M Diah. Ia menyampaikan gagasannya tentang kemerdekaan dan proklamasi yang membuat Sukarni terpukau. Sukarni pun yakin bahwa proklamasi harus segera diumumkan. Setelah dari sana Tan kembali ke Banten untuk menggerakan para pemuda Banten. Setelahnya ia kembali lagi ke Jakarta, namun ia gagal menemui tokoh-tokoh pemuda. Ia tidak tahu bahwa tokoh-tokoh pemuda akan menculik Soekarno-Hatta ke rengas dengklok.

Ketika Proklamasi Tan Malaka tidak mengetahuinya, ini sungguh ironis karena Tan Malaka lah yang menggagas konsep republik Indonesia. Setelah proklamasi para pemuda masih sulit untuk ditemui Tan, akhirnya Tan menuju rumah Ahmad Soebardjo. Soebardjo terkejut karena mengira Tan telah mati, mereka pernah bertemu di Belanda pada tahun 1919.

Tan dikenalkan oleh Soebardjo dengan tokoh-tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenimihardjo, Boentaran Martoatmojo, dan Nishijima Shigetada, asisten Laksamana Maeda.

Nishijima terheran-heran dengan pemikiran Tan tentang revolusi, ia pun menjabat erat tangan Tan ketika Soebardjo mengenalkannya. Pemerintah yang tidak bekerja membuat para pemuda terus bergerak, sebagian dari pemuda mengusulkan untuk diadakannya demonstrasi. Sukarni menyatakan ini saat yang tepat untuk melaksanakan Massa Actie, mengutip buku Tan yang menjadi pegangan para pemuda

Tan lalu mengusulkan agar propaganda dilakukan lewat semboyan-semboyan. Sejak saat itu Soekarno mendengar kemunculan Tan Malaka, akhirnya mereka bertemu dua kali pada awal September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik apabila Soekarno-Hatta ditangkap kepemimpinan agar diteruskan oleh Tan Malaka. Namun Hatta tidak setuju, dengan jalan tengah bahwa ahli waris revolusi harus diberikan kepada empat orang yang mewakili empat kutub. Tan Malaka aliran kiri, Sjahrir aliran kiri tengah, Wongsonegoro sebagai wakil kalangan kanan, serta Soekiman dari wakil kelompok Islam.

Tan pun memegang naskah testamen dan naskah proklamasi, dan melakukan perjalanan keliling Jawa selain untuk memperkenalkan diri pada rakyat juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya.

Ketika Tan Malaka melakukan perjalanan ini ia menyaksikan perlawan perjuangan rakyar yang meluap-luap terhadap tentara Inggris dengan gagah berani. Tan heran dengan keputusan pemerintah yang tetap memilih jalan diplomasi dan tidak mendukung perjuangan rakyat.

1946- Pada Bulan Januari 1946 Tan membangun persatuan perjuangan di Purwokerto sebagai upaya menyerang politik diplomasi yang dilaksanakan pemerintah. Rapat kongres ini dihadiri oleh pemimpin pusat partai sosialis, partai komunis Indonesia, 

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia. Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonenisa, Panglima Besar Jenderal Soedirman juga hadir disini. Dari sini melahirkan tujuh pasal program minimum yaitu
  1. Merdeka 100%
  2. Membentuk Pemerintahan Rakyat
  3. Menyita Perkebunan Musuh
  4. Menyita Pabrik Musuh
  5. Membentuk Tentara Rakyat
  6. Melucuti Tentara Jepang
  7. Mengurus tawanan bangsa Eropa 
Karena oposisi terhadap pemerintah ini Tan ditangkap dan dipenjarakan di sejumlah tempat tanpa diadili. Ia berpindah-pindah dari wirogunan, Yogyakarta, Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang. Pada saat ini pula ia menulis otobiografinya Dari Penjara ke Penjara.

Pertemuan Purwokerto ini diakui memberikan sumbangan besar pikiran Tan pada kongres ini dan pada buku GERPOLEK menurut A.H Nasution mneyuburkan ide perang rakyat semesta yang membuat rakyat berhasil melawan Agresi Milter Belanda sebanyak dua kali, terlepas dari pandangan politik ia berkata Tan Malaka harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.

1948- Tan Malaka bebas dan bertemu dengan Jenderal Soedirman. di Yogyakarta, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948 melawan Belanda. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.

Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan, namun ia memutuskan pergi ke Kediri. Pada tahun ini pula Tan Malaka dan Sukarni mendirikan Partai MURBA.

1949- Pada tanggal 21 Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati oleh TNI di Kediri ketika sedang bergerilya, menurut penelitian Harry A. Poeze. Sebelumnya, kematian Tan Malaka menjadi kontroversi, beberapa pendapat menyampaikan bahwa PKI berada di belakang kejadian ini, adapula pendapat yang menyatakan bahwa kematiannya diakibatkan karena perintah yang tak jelas. Pada saat itu muncul radiogram bahwa Tan Malaka disebutkan melakukan aktivitas pergerakan yang berbahaya sehingga harus dihentikan dan bila ada perlawanan bisa digunakan hukum militer.

1963- Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional pada 28 Maret 1963 oleh presiden Soekarno melalui keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963

1966- Pada masa Orde Baru nama Tan Malaka dihapuskan dari buku-buku sejarah walaupun gelar pahlawannya tidak dicabut.

2009- Makam yang diduga sebagai kuburan Tan Malaka ditemukan di Kediri.

Tidak ada komentar